Payakumbuh, fixsumbar.com – Sejumlah tokoh masyarakat di Kelurahan Koto Panjang menilai spanduk yang menolak Supardi sebagai calon Walikota tidak mencerminkan sikap mayoritas warga. Mereka menyebut bahwa tindakan tersebut hanyalah ulah segelintir oknum dengan motif pribadi. Hal ini ditekankan oleh tokoh muda Koto Panjang, M. Erdi Sahida.
Menurut Erdi, pemasangan spanduk penolakan diduga berkaitan dengan dendam pribadi dan kepentingan politik, terutama mengingat pemilihan walikota yang semakin dekat. “Spanduk itu tidak mempengaruhi Koto Panjang. Kita sudah tahu siapa yang memasang, dan itu bukan suara masyarakat, tetapi masalah pribadi. Diduga ada lawan politik Supardi di balik tindakan oknum tersebut,” ujar Erdi dengan tegas.
Salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya menambahkan, aksi oknum tersebut telah diperingatkan oleh masyarakat. Ia menegaskan bahwa tidak ada suara dari masyarakat Koto Panjang yang secara resmi menolak kehadiran calon walikota tersebut. “Koto Panjang di Kecamatan Latina terbuka untuk siapa saja, tidak ada larangan bagi siapapun untuk melakukan kampanye atau sosialisasi. Spanduk penolakan itu hanya ulah segelintir orang, bukan suara masyarakat luas,” jelasnya.
Kasus penolakan ini kini menjadi perhatian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Camat Lamposi Tigo Nagari. Pemasangan spanduk tersebut dinilai berpotensi melanggar aturan pemilu, karena tindakan itu mengarah pada penghalang-halangan peserta pemilu dalam berkampanye. Berdasarkan Pasal 187 UU No.1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati, setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye dapat dipidana dengan hukuman penjara minimal 1 bulan hingga maksimal 6 bulan dan/atau denda minimal Rp600.000 dan maksimal Rp6.000.000.
Menanggapi berita yang beredar, terutama yang diterbitkan oleh salah satu media online, Supardi menyebut pemberitaan tersebut berlebihan dan menyimpang dari fakta. Ia menegaskan bahwa pertemuan yang terjadi di Agamjua Cafe beberapa waktu lalu telah disalahartikan dan dibesar-besarkan oleh media. “Apa yang ditulis oleh media online itu telah dibumbui. Membaca berita tersebut membuat saya merasa jijik. Wartawan yang meminta konfirmasi kepada saya tidak bertanya soal pertemuan di Agamjua, melainkan soal spanduk. Jika mereka menanyakan hal yang benar, tentu saya akan jelaskan secara rinci. Sayangnya, wartawan itu tidak paham kode etik jurnalistik,” ujar Supardi dengan kecewa.
Komentar