FIXSUMBAR --- Meletup wacana dari petinggi Parpol di Indonesia tentang Pemilu 2024 ditunda, viral..Mulai dari Muhaimin (PKB) Zulkifli Hasan (PAN) dan Airlangga (Golkar) dengan berbagai argumentasi. Tapi Pakar Hukum Tata Negara yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang Prof Yusril Ihza Mahendra memberikan pandangan. Berikut pandangan lengkap Prof Yusril Ihza Mahendra dikutip dari banyak whatsapp group hari ini, Minggu 27 Februari 2022.
ADA TIGA JALAN UNTUK MENUNDA PEMILUOleh: Yusril Ihza Mahendra
TIGA Ketua Umum Partai Politik di negara kita, Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulkifli Hasan (PAN) telah mengemukakan usulan agar Pemilu 2024, yang jadwalnya telah disepakati Pemerintah, DPR, KPU untuk dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024, ditunda. Sebagaimana kita maklum, Pemilu 2024 ini adalah Pemilu serentak, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD.Alasan penundaan Pemilu yang awalnya dilontarkan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia ini memang beragam. Pertama, situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung, berapa biaya Pemilu hingga kini belum dianggarkan. Sumbernya juga belum jelas dari mana. Kedua, pandemi sedang merebak dan belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Ramai-ramai kampanye dan pencoblosan bisa membuat makin banyak rakyat yang terpapar.
Ketiga, dan ini yang kontroversial, rakyat masih menghendaki Jokowi melanjutkan kepemimpinan. Bahkan, ada yang meminta diperpanjang tiga periode. Sementara Jokowinya sendiri dalam berbagai kesempatan menyatakan tidak punya niat untuk menjabat 3 periode karena menyalahi konstitusi UUD 45. Terakhir, serbuan Rusia terhadap Ukraina juga dijadikan alasan, walau susah mencari kaitannya secara langsung dengan alasan penundaan Pemilu.Usulan penundaan Pemilu berkaitan langsung dengan norma konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 45. Pertama, Pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2). Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu untuk memilih anggota DPR dan DPD untuk membentuk MPR (Pasal 2 ayat 1). Secara spesifik Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Ketentuan-ketentuan di atas berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya. Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali. Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya “ilegal” alias “tidak sah” atau “tidak legitimate”.Jika para penyelenggara negara itu semuanya ilegal, maka tidak ada kewajiban apapun bagi rakyat untuk mematuhi mereka. Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri. Rakyat berhak untuk membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR. Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal.
Penyelenggara negara (eksekutif) yang masih legal di tingkat pusat tinggallah Panglima TNI dan Kapolri. Kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR. Bagaimana cara menggantinya, Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan ilegal. Dalam situasi seperti ini banyak pula kemungkinan dapat terjadi.TNI dan POLRI sekarang ini bukan lagi ABRI zaman dulu yang berada dibawah satu komando, Panglima ABRI. TNI dan POLRI sekarang terpisah dengan tugas masing-masing, dan punya komando sendiri-sendiri yang masing-masingbbertanggung jawab secara terpisah kepada Presiden. Jika Presidennya sendiri sudah ilegal dan tidak sah, Panglima TNI dan Kapolri bisa pula membangkang kepada perintah Presiden yang ilegal itu. Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis. Tetapi kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara.Di daerah, gubernur, bupati dan walikota masih sah menjalankan roda pemerintahan kalau masa jabatannya belum habis, tetapi tanpa kontrol DPRD lagi. Bagaimana mau mengontrol, DPRDnya saja sudah ilegal. Begitu juga tanpa pertanggungjawaban lagi kepada Presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Bagaimana mau bertanggung jawab kalau Presidennya sudah ilegal? Keadaan bangsa dan negara akan benar-benar carut marut akibat penundaan Pemilu.Dalam suasana carut marut, timbullah anarki. Dalam anarki setiap orang, setiap kelompok merasa merdeka berbuat apa saja. Situasi anarki akan mendorong munculnya seorang diktator untuk menyelamatkan negara dengan tangan besi. Diktator akan mendorong konflik makin meluas. Daerah-daerah potensial bergolak. Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi. NKRI “harga mati” berada dalam pertaruhan besar.
*****Saya membayangkan keadaan buruk yang mungkin akan terjadi sebagaimana saya uraikan di atas, apabila Pemilu ditunda. Mungkin saya pesimis terlalu berlebihan. Tetapi membayangkan keadaan paling buruk itu, perlu bagi kita untuk mengantisipasi jangan sampai itu terjadi.
Ambillah contoh ketika kita menghadapi krisis ekonomi yang membawa dampak luas pada stabilitas politik di tahun 1997-1998. Krisis politik dan keamanan itu berakhir hanya dalam waktu beberapa menit saja. Presiden Suharto membacakan Pidato Pernyataan Pengunduran Diri sebagai Presiden RI, dan kemudian disusul oleh pengucapan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai Presiden RI di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung. Panglima ABRI Jenderal Wiranto membacakan statement menyatakan peralihan kekuasaan itu sah, ABRI menyatakan tunduk kepada Presiden yang baru, BJ Habibie.Krisis politik berakhir dengan damai dalam waktu tidak sampai 1 jam. Presiden Suharto yang telah berkuasa 32 tahun kehilangan konstitusionalitas dan legalitas jabatan, kedudukan dan kekuasaannya. Walaupun ada yang suka dan tidak suka kepada BJ Habibie, tetapi itu persoalan politik. Yang paling fundamental dia memegang jabatan Presiden secara sah, legal dan legitimate. Hanya ada beberapa guru besar hukum seperti Prof. Dr Dimyati Hartono dari UNDIP, Prof. A. Muis dari UNHAS dan Prof. Dr. I Gde Atmadja dari UNUD yang menolak, tetapi pendapatnya saya sanggah melalui polemik. Sanggahan terhadap mereka juga datang dari Prof. Dr. Ismail Suny, Prof. Dr. Harun Alrasyid dari UI dan Prof. Dr. Laica Marzuki dari UNHAS. Para politisi yang menganggap berhentinya Presiden Suharto tidak sah antara lain Prof. Dr. Subroto dan Prof. Emil Salim, dua mantan menteri Suharto, dan Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta. Secara berseloroh saya katakan kepada Ali Sadikin, saya heran beliau mengatakan cara berhentinya Presiden Suharto tidak sah. Kalau tidak sah berarti Suharto masih Presiden RI yang sah. Apa itu yang Pak Ali Sadikin mau?
Tahun 1998 itu ada 100 orang advokat yang menamakan dirinya “Advokat Reformasi” yang menggugat keabsahan berhentinya Presiden Suharto ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil saya untuk didengar keterangannya mengenai proses, prosedur dan landasan hukum berhentinya Suharto dan keabsahan pergantiannya oleh Wapres BJ Habibie. Saya memenuhi permintaan majelis hakim. Akhirnya Majelis hakim memutuskan menolak gugatan 100 Pengacara Reformasi itu.Dalam pertimbangan hukumnya, majelis berpendapat bahwa prosedur berhentinya Presiden Suharto dan digantikan BJ. Habibie adalah sah menurut hukum. Saya kemudian bertanya kepada Suhana Natawilana, SH, salah seorang tokoh penggugat, apakah akan ajukan banding. Dia bilang tidak, mereka menerima putusan PN Jakarta Pusat itu. Banyak orang yang tidak tahu bahwa polemik keabsahan berhentinya Presiden Suharto dan naiknya BJ Habibie itu akhirnya masuk ranah pengadilan dan ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Editor : Fix Sumbar