Refleksi Atas Wacana Politik dan Moral di Balik Gelar Kepahlawanan Bangsa

Foto Irdam Imran

Wacana penetapan tokoh tertentu sebagai pahlawan nasional kembali menjadi sorotan publik. Di tengah dinamika politik yang kian padat simbol dan kepentingan, muncul pertanyaan mendasar: apakah gelar pahlawan nasional masih dimaknai sebagai bentuk penghormatan negara yang konstitusional, atau telah bergeser menjadi instrumen legitimasi kekuasaan?

Padahal, dalam hakikatnya, gelar pahlawan nasional adalah anugerah konstitusional, bukan hadiah politik. Ia lahir dari proses yang berjenjang, terbuka, dan berkeadilan - dimulai dari daerah dan provinsi, diusulkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat, lalu dinilai secara objektif oleh Panitia Gelar di Kementerian Sosial serta disahkan oleh Sekretariat Negara. Prosedur ini bukan formalitas, tetapi bentuk tanggung jawab moral agar sejarah bangsa tidak ditulis oleh kepentingan sesaat.

Supremasi konstitusi menuntut agar setiap keputusan kenegaraan, termasuk penetapan pahlawan nasional, berpijak pada nilai kejujuran sejarah dan keadilan moral. Presiden, partai politik, maupun elit kekuasaan seharusnya bertindak sebagai penjaga moral prosedur, bukan pengarah makna sejarah.

Dalam pandangan sufistik, pahlawan sejati bukan hanya yang dihormati manusia, tetapi yang diakui oleh Allah atas ketulusan perjuangannya. Firman Allah SWT dalam QS. Ali ‘Imran: 169 mengingatkan:

“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya, mendapat rezeki.”

Ayat ini menegaskan bahwa kepahlawanan sejati hidup melampaui waktu - bukan karena gelar, tetapi karena keikhlasan. Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Dari dua pedoman spiritual ini, kita belajar bahwa pahlawan bukanlah mereka yang berkuasa, melainkan mereka yang berkhidmat; bukan yang dikenang karena jabatan, melainkan yang dicintai karena pengorbanan dan ketulusan.

Karena itu, penetapan pahlawan nasional hendaknya dikembalikan ke jalur konstitusi yang bersih dari tekanan politik. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menulis sejarahnya dengan kejujuran dan memberikan kehormatan kepada mereka yang benar-benar pantas - bukan kepada yang hanya berjasa pada kekuasaan.

Sejarah yang ditulis dengan nurani akan melahirkan kebanggaan. Tetapi sejarah yang ditulis oleh kepentingan hanya akan meninggalkan luka. Maka, biarlah konstitusi dan moral bangsa menjadi penjaga terakhir kehormatan gelar pahlawan nasional - agar generasi mendatang mewarisi kebenaran, bukan kebingungan sejarah.

Banner Job Fair
Bagikan

Opini lainnya
Terkini