Air Mata Wisuda: Mimpi Anak Kampung Ini Akhirnya Jadi Kenyataan

Foto Fardianto
Ilustrasi Air Mata Wisuda: Mimpi Anak Kampung Ini Akhirnya Jadi Kenyataan

Catatan : Bagian 2

Di tengah ribuan toga yang bergerak pelan mengikuti arus manusia di Auditorium Universitas Negeri Padang, ada satu anak kampung yang hari itu menahan napas lebih kuat dari biasanya. Anak itu adalah aku sendiri, Fardianto, putra dari Ujang Efendi dan Desi Wati.

Hari itu, 1 November 2025, mimpi yang dulu sering diremehkan orang akhirnya berdiri di panggung, lengkap dengan toga dan gelar S.I.Kom.

Aku masih ingat jelas bagaimana rasanya jadi anak kampung dari Kenagarian Setara Nanggalo, Kecamatan Tarusan, Pesisir Selatan, tempat yang penuh kenangan tapi juga penuh omongan yang sering membuat pundak berat. Sering disepelekan, sering dianggap “nggak bakal bisa kuliah”. Tapi aku jalan terus. Pelan, tapi tetap jalan.

Merantau ke Padang bukan perkara gampang. Kota yang katanya aman dan peluangnya banyak itu kadang justru menyambutku seperti ombak di laut Tarusan, sekali memukul kencang, sekali surut dan membuatku terjebak di tengah.

Aku belajar sambil bekerja. Sesekali nulis berita, ngejar narasumber, kadang pulang malam dengan badan pegal. Tapi itulah hidup yang kupilih. Hidup yang orang kampung bilang, "Hiduik se susah, ba ka kuliah". Tapi mimpi ini bukan buat mereka. Mimpi ini buat aku, ayah, dan ibu.

Waktu namaku dipanggil, aku sempat menarik napas panjang. Tiba-tiba semua perjalanan terputar di kepala. Dari jalan berlumpur di kampung, dari tatapan remehan orang-orang, sampai malam-malam penuh kecemasan di perantauan.

Saat maju, aku menoleh sedikit ke arah bangku tamu. Ayah dan ibu ada di sana. Duduk rapi, pakai baju terbaik yang aku pilih untuk mereka pakai. Waktu toga di kepalaku dipindahkan, aku lihat mata ibu berkaca-kaca. Ayah, meski berusaha tegar, bibirnya gemetar menahan haru.

Ketika aku turun panggung, dan prosesi wisuda selesai, kami bertemu di tengah keramaian. Kami saling meraih. Saling rangkul. Saling cium. Saling melepaskan semua rasa yang selama ini dipendam. Itu bukan cuma pelukan. Itu kemenangan. Milik kami bertiga.

Aku dulu sering menandai diriku sebagai “anak kesayangan ayah-ibu” kadang kuucap sambil bercanda, tapi sebenarnya itu doa paling dalam. Bagiku itu kata-kata penyemangat.

Banner Job Fair
Bagikan

Opini lainnya
Terkini