Jakarta, - Hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 20 Mei bukan sekadar penghormatan terhadap berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, tetapi lebih dalam dari itu, ia adalah penanda sejarah bahwa bangsa ini pernah membangun semangat kolektif untuk bangkit dari keterpurukan dan penjajahan.
Semangat ini harus terus dihidupkan, bukan hanya secara simbolik, melainkan juga secara substansial, sesuai dengan tantangan zaman yang kini kita hadapi.
Di era kemerdekaan yang telah menginjak usia 79 tahun, bentuk penjajahan yang kita hadapi tidak lagi dalam rupa kolonialisme fisik.
Kita berhadapan dengan penjajahan ekonomi, ketergantungan energi, kerentanan pangan, eksploitasi lingkungan, dan degradasi moral generasi muda.
Maka dari itu, Hari Kebangkitan Nasional perlu menjadi momen reflektif untuk kebangkitan yang lebih luas dan menyeluruh: kebangkitan pangan, kebangkitan energi, dan kebangkitan kesadaran lingkungan, demi menyiapkan Indonesia menuju generasi emas 2045.
Bangkit di bidang pangan berarti membebaskan bangsa ini dari ketergantungan impor yang membuat kita rawan terhadap gejolak pasar global. Data dari BPS dan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun kita masih bergantung pada impor komoditas pokok seperti gandum, kedelai, gula, hingga daging sapi. Bahkan beras—makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia—masih menghadirkan dilema, antara produksi domestik yang belum optimal dan impor yang terus menjadi pilihan kebijakan saat panen raya terganggu cuaca atau distribusi yang buruk.Situasi ini ironis, mengingat Indonesia memiliki lahan pertanian luas, tenaga kerja besar di sektor agraris, dan keragaman hayati yang luar biasa.
Yang kita butuhkan bukan hanya cetak sawah baru, tetapi juga kebangkitan manajemen pertanian berbasis riset, investasi, dan pemberdayaan petani.
Penguatan kelembagaan petani, digitalisasi pertanian, serta kebijakan pupuk yang adil dan tepat sasaran harus menjadi prioritas nasional.
Editor : Redaksi