Bahkan pelantikan di Monumen Pers Nasional sebagai napak tilas berdirinya PWI pada 1946. Di mana para senior wartawan kala itu menekankan persatuan yang selanjutnya terlahir namanya PWI.
“Tetapi kesempatan berharga menegaskan kembali arti penting pers bagi cahaya kebenaran dan persatuan bangsa,” ungkap Meutya Hafid.
Mantan Ketua Komisi I DPR RI itu juga menceritakan bagaimana Ia didatangi para senior wartawan untuk mendiskusikan bagaimana menyatukan PWI.
“Waktu itu saya baru dilantik menteri kedatangan senior-senior pers, karena saya dulunya wartawan, kalau kedatangan senior agak ndredek-ndredeknya, membicarakan mengenai bagaimana menyatukan PWI,” ungkap Meutya.
“Lalu kemudian dari diskusi itu kita simpulkan bahwa dengan menghormati independensi pers Indonesia, maka pemerintah akan menjaga betul sejauh mana kita tidak terlibat dalam penyatuan ini,” katanya.
Meutya Hafid mengungkapkan pemerintah memposisikan diri untuk tidak sedikit pun melakukan intervensi.
“Waktu itu kami pilih sebagai orkestrator, kami ditemani Pak Wamen, dan kita sepakati itu yang pertama karena menjaga independensi pers, dengan sangat hati-hati,” katanya.“Yang kedua karena kami yakin sekali kalau para tetua dan pemuda-pemudi insan pers sudah berkumpul, kita yakin sekali persatuan bisa tercapai seperti yang kita lihat hari ini,” lanjut Meutya.
Meutya mengapresiasi rekonsiliasi di PWI berhasil tercapai dengan demokratis tanpa ada intervensi dari pemerintah dan mengedepankan kebebasan pers.
Sementara itu Ketua PWI, Akhmad Munir mengungkapkan pemilihan Monumen Pers sebagai lokasi pengukuhan merupakan hasil diskusi dan arahan dari Menkomdigi.
Editor : Fix Sumbar