Belajar dari Sumatera, Selamatkan Rakyat, Pasang Alat Peringatan Dini di Hulu-hulu Sungai

Foto Khairul Jasmi

Ujung sejarah kontemporer negeri kita diguncang alam dari Barat, itulah bencana Sumatera. Sebentar lagi, entah bagian mana dari batang tubuh Indonesia akan dihantam musibah. Ini, bukan kabar pertakut, namun ajakan untuk berpikir ulang tentang apa yang segera mesti dilakukan oleh para gubernur dan pemerintah pusat.

Kita tak bisa melawan sungai, namun punya kesempatan mengendalikannya. Jika tidak dilakukan, bencana seperih sekarang, akan terulang. Bahkan, bisa lebih. Cerita berilah aku cinta dari Sumatera, seperti aliran anak-anak sungainya nan sejuk, adalah omong kosong dan merusak sastra, jika sungai berubah menjadi alat pencabut nyawa.

Kisah buruk Sumatera ini, akan terulang jika pemerintah tidak menerapkan manajemen risiko secara ketat. Sumatera adalah pulau dengan sungai-sungai kecil dan besar. Banyak sekali yang pendek. Bahkan ada sungai menengah yang hulu dan muaranya bisa dilihat dari satu titik. Misalnya, Batang Kuranji di Padang.

Dari laut ada ancaman maut, namanya tsunami. Kota paling berbahaya di dunia, Padang disusul San Fancisco. Tak ada alat deteksi dini, padahal sangat perlu. Untuk menyelamatkan rakyat, penting ada jalan evakuasi dan shelter. Banjir dan tanah longsor juga mengintai. Lihatlah Aceh Tamiang misalnya, luluh lantak dibuatnya. Sumatera Utara dan Barat, remuk.

Semua berhulu dari hutan nan merana. Sebagian telah berubah jadi ladang sawit. Tiap batangnya perlu air 13 liter per hari. Anak-anak sungai di Sumatera rapuh sudah. Jika alirannya menyatu lalu menuju ke bawah, pasti kampung-kampung akan dilibasnya. Maka, pasanglah alat deteksi di hulu-hulu sungai. Ini, penting agar nyawa rakyat kita selamat. Antisipasi dari awal, setelah belajar dari banjir Sumatera akhir November 2025.

Ancaman bukan hanya gempa, banjir dan longsor tapi juga dari letusan gunung. Letusan dan magmanya. Sisa apu kepundan Gunung Marapi di Sumbar misalnya, belum turun jutaan meter kubik. Obatnya sabodam dan deteksi di hulu.

Alat deteksi tsunami di laut hilang, dicuri. Alat deteksi letusan Gunung Marapi, dicuri juga. Dapat dipastikan, jika dipasang di hulu sungai akan hilang pula: jika dibiarkan. Orang maling itu memang suka mencuri, tugas aparatlah itu.

Untuk di perkampungan atau kota-kota yang terancam tsunami dan banjir, jika sudah terdeteksi, perlu sirine maraung panjang. Terdengar kemana-mana. Tapi, perlu pula disiapkan lokasi tempat lari. Juga evakuasi. Memang itulah risiko kita— rakyat dan pemerintah Indonesia, wilayah cincin api bencana. Supermarketnya ada di sini.

Dalam bahasa bijaknya, mari kita akrab dengan bencana. Tak bisa akrab-akrab saja, harus ada perkakas dan alat-alat pendukung yang lengkap.Tentu saja edukasi yang tak henti-henti, setelah itu baru akrab. Sama-sama kita, rakyat dan apalagi pemerintah.

Jangan seperti kawan saya, setiap banjir tiba, ia hendak menjual rumahnya, ketika sudah kering, dia lupa. Begitu setiap tahun sampai suatu ketika, banjir sampai di ujung atapnya. Sudah tak bisa lagi diselamatkan.

Banner WIES 2025 1
Bagikan

Opini lainnya
Terkini