***
Bulan Mei juga menjadi penting bagi kalangan pers, karena ada yang namanya tahapan pemilu pendaftaran calon legislatif dari partai politik. Daftar Calon Sementara (DCS) itu pada bulan September mendatang akan dijadikan Daftar Calon Tetap (DCT) oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat, KPU Provinsi, maupun KPU Kabupaten Kota. Pers memang diharapkan memberitakan tahapan-tahapan Pemilihan Umum agar masyarakat tahu tanggal-tanggal penting sebelum pencoblosan yang akan diadakan pada 14 Februari mendatang. Inilah fungsi informasi sekaligus juga fungsi edukasi dari pers, yakni meyakinkan masyarakat untuk berpartisipasi di setiap tahapan khususnya pada Hari H pencoblosan. Dengan berbagai persoalannya partisipasi masyarakat sangat penting karena ini adalah sarana pergantian pemegang kekuasaan yang sah di cabang eksekutif maupun di legislatif. Kalau selama ini pimpinan dianggap tidak aspiratif, di tingkat provinsi atau kabupaten kota, ya carilah orang yang dianggap bisa memimpin daerahnya lebih baik. Kalau selama ini anggota parlemen dianggap tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, silakan coblos orang yang dinilai nanti akan dapat menjalankan aspirasi. (Khusus untuk calon presiden karena Joko Widodo tidak lagi maju maka tidak dibahas di sini, semua calon adalah “orang baru”, jadi silakan yang dianggap cocok untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan). Di luar fungsinya sebagaimana disebutkan dalam UU Pers No 40/1999, ada hal lain yang menjadi pembicaraan yakni terjunnya sejumlah orang pers menjadi calon legislatif (dan mungkin juga menjadi calon pimpinan daerah nantinya). Bulan Desember tahun 2022 lalu sebagai antisipasi Dewan Pers sudah mengeluarkan Surat Edaran No.1, yang antara lain menyatakan, orang pers yang mencalonkan diri di cabang eksekutif ataupun legislatif, agar non aktif dari dunia pers, bahkan kalau bisa mengundurkan diri. Maksudnya tidak lain adalah agar tidak ada percikan kepentingan sekecil apapun dari profesi sebagai wartawan dan bekerja di media, dalam pemberitaan pemilu dan tahapan-tahapannya. Saya sendiri berpendapat, sebenarnya setelah mencalonkan melalui partai politik dan masuk ke dalam daftar calon sementara DCS), seorang wartawan atau pengurus organisasi wartawan harus mengundurkan diri dari kepengurusan bahkan kalau bisa dari profesi wartawan. Mustahil dan tidaklah mungkin wartawan sehebat apapun kalau sudah menjadi calon sebuah partai politik, bersikap independen, dalam menyikapi apapun, terlebih-lebih urusan perpolitikan. Dia sudah menjadi petugas partai, harus loyal pada ideologi partai, loyal pada program kerja dan tujuan partai, tidak lagi netral dan bersikap berimbang. Yang dia perjuangkan pastilah kepentingan partai apabila terjadi konflik pemikiran, gagasan, ataupun peristiwa di lapangan. Alangkah elok bila para calon tadi menyampaikan ke hadapan publik, saya sudah berhenti (sementara atau tetap) sebagai wartawan, atau sebagai pengurus organisasi wartawan ataupun media. Terjaga kredibilitasnya dan terjaga marwahnya. Tidak dianggap main dua kaki, ya wartawan ya politisi sekaligus, agar kalau jeblok di sana lalu bergeser lagi ke posisi semula. Soal ini saya salut dengan teman-teman dari PWI Jawa Timur. Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Jatim, Ferry Is Mirza, mundur dari jabatannya karena telah berketatapan hati menjadi calon anggota legistlatif dari PKS. Ashadi mundur dari posisi Ketua PWI Gresik karena maju sebagai caleg. Sebelumnya di Jakarta, ada pula Dhimam Abror yang mengundurkan dari kedudukan anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat karena memilih menjadi tim sukses calon presiden. Contoh baik harus ditiru karena itulah cara yang elegan, yang menunjukkan jati diri sebagai wartawan yang faham dan taat pada Kode Etik Jurnalistik. Bukan malah ngotot dengan berbagai alasan, masih calon sementara lah, belum tentu lolos sebagai calon tetaplah, dsb. Pilihan adalah konsekuensi. Tidak ada yang memaksa pilihan, tetapi kalau sudah memilih ya harus tahu diri. Jangan rugikan nama baik organisasi.***
Kita segera memasuki bulan Juni, dan tantangan pers sampai dengan berlangsungnya pemilihan umum yang akan menetapkan presiden, anggota parlemen, dan lalu menyusul pemilihan kepala daerah. Setiap menghadapi event 5 tahunan ini lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, berbagai lembaga negara, dan Dewan Pers, aktif melakukan edukasi terhadap wartawan dan pengelola media, agar bersikap adil dan menerapkan KEJ dalam pemberitaan. Kata seorang teman, materi tentang pemberitaan yang informatif, edukatif, sesuai PKPU, dan taat pada etika jurnalistik, harus selalu diberikan pada pengelola media dan wartawan. Sebab meski dulu sudah faham, bisa jadi kini lupa, atau tergerus kondisi ekonomi yang sulit. Dulu tobat lalu kembali kumat. Sebagai orang yang pernah di Dewan Pers selama enam tahun, pengaduan tentang pemberitaan cukup banyak, dengan jenis pelanggaran yang ringan sampai berat. Dan saya yakin hal serupa akan terjadi ketika mesin perpolitikan mulai memanas. Normal saja. Tetapi adalah tugas kita semua untuk menjaga agar pers selalu berada di jalur yang benar, menjalankan peran dan fungsinya sebaik-baiknya, menunjukkan integritasnya, sehingga mendapat apresiasi dari masyarakat, pemerintah, penyelenggara dan peserta pemilu itu sendiri. (*) Editor : Fix Sumbar