"Karena itu, wilayah-wilayah yang memiliki kerentanan tinggi terus mengalami bencana ekologis setiap tahun," katanya.
Lebih dari dua dekade terakhir, WALHI mencatat Sumbar kehilangan 320 ribu hektare hutan primer lembap dan 740 ribu hektare total tutupan pohon.
"Pada 2024 saja, 32 ribu hektare hutan hilang. Angka itu menunjukkan degradasi ekologis yang berlangsung masif dan sistematis," katanya.
Di Kota Padang, katanya, tekanan ekologis paling parah terjadi di kawasan hulu, terutama DAS Aia Dingin dan DAS Kuranji. WALHI menyebut Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon sejak 2001.
"Hulu DAS yang seharusnya menjadi benteng ekologis kini mengalami deforestasi berat sehingga meningkatkan erosi dan sedimentasi yang memicu banjir bandang," katanya.
WALHI menilai selama paradigma pembangunan masih menempatkan investasi sebagai prioritas, bencana ekologis akan terus berulang."Banjir bandang yang terjadi ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan peringatan keras bahwa tata ruang yang abai akan keselamatan rakyat," katanya.
Di tengah kritik tersebut, Dinas Kehutanan (Dishut) Sumbar memberikan bantahan. Kadishut Ferdinan Asmin menegaskan bahwa ribuan potongan kayu yang terbawa banjir ke muara Batang Kuranji dan Pantai Parkit bukan hasil illegal logging, melainkan material pohon yang hanyut akibat longsor dan potongan dari ladang atau bangunan warga.
Menurutnya, kawasan hulu Batang Kuranji merupakan campuran hutan konservasi, hutan lindung, dan lahan masyarakat, dengan aktivitas dominan berupa perkebunan rakyat. Ia menyebut tidak ada perusahaan pemegang izin yang beroperasi di wilayah tersebut.
Analisis citra penggunaan lahan 2019 hingga 2024 menunjukkan perubahan tutupan hutan di Kota Padang sekitar 1,08 persen.
Editor : Fix Sumbar