Seharusnya jabatan Wakil Gubernur bukanlah tempat untuk belajar. Bila jabatan strategis dijadikan ajang menimba pengalaman, maka publik wajar mempertanyakan, apa bedanya dengan Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Wakil Presiden dengan alasan “belajar memimpin negara”? Jabatan publik bukan ruang magang politik, tetapi amanah yang menuntut kesiapan moral, pengalaman birokrasi, dan kedewasaan berpikir.
Wakil Gubernur adalah mitra sejajar Gubernur dalam eksekusi kebijakan daerah, bukan pelengkap upacara atau tempat melatih diri. Ketika jabatan diperlakukan sebagai ruang belajar, rakyatlah yang akhirnya menanggung akibat dari proses “trial and error” kekuasaan itu.
Untuk politisi, ruang belajar dan pembentukan kapasitas seharusnya dilakukan melalui sistem kaderisasi partai politik yang berjenjang, terbuka, dan meritokratis. Sementara bagi birokrat, jalan menuju jabatan strategis seperti Gubernur atau Wakil Gubernur mesti ditempuh secara profesional dan objektif, dari bawah: kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, hingga staf Pemda provinsi.
Itulah esensi karier publik yang matang dan berakar pada pengalaman nyata, bukan hasil loncatan karbitan politik. Kematangan tidak bisa dibangun dari popularitas semata, melainkan dari disiplin dan kejujuran dalam mengabdi.Dalam konteks Sumatera Barat, posisi Wakil Gubernur semestinya diisi oleh sosok yang sudah teruji secara moral, sosial, dan teknokratis. Bukan hanya populer, tetapi mampu membaca denyut persoalan daerah dan memimpin dengan kearifan. Kekuasaan sejatinya adalah amanah, bukan prestise.
Dalam pandangan sufistik, jabatan hanyalah titipan yang menguji seberapa kuat manusia menundukkan egonya dan menjaga amanah Tuhan. Siapa yang menjadikan kekuasaan sebagai jalan ibadah akan dimuliakan, tetapi siapa yang menjadikannya sekadar tempat belajar tanpa kesiapan moral akan diuji oleh kenyataan sebab setiap kekuasaan akan berujung pada hisab, bukan sekadar penghargaan dunia. (*)