Audiens sebagai Komoditas dan Interpelasi di Ruang Digital

Foto Assyifa Walanda Tari

Digitalisasi saat ini, telah banyak merubah kebiasaan dan pola hidup masyarakat, kecendrungan penggunaan digital seperti media sosial sudah menjadi kebutuhan bagi setiap orang. Saat ini media sosial tidak hanya menjadi ruang interaksi tetapi juga ruang ekonomi baru. Media sosial banyak mempengarihi cara orang berinteraksi satu sama lain, menjalin hubungan, dan menentukan identitas sosial seseorang. Pengguna media sosial aktif dalam membuat konten, memberi umpan balik (suka, komentar, dan bagikan) sehingga secara tidak langsung menjadi pendorong ekonomi global.

Dalam teori audience commodity Dallas W. Smythe menjelaskan masyarakat/audiens menjadi suatu komoditas yang dijual kepada pengiklan sehingga dapat diartikan sebagai sebuah “pekerjaan” bagi pengguna, data tersebut kerap kali digunakan oleh pikak ketiga dan perusahaan data analitik. Di Indonesia, Sebagian besar content creator di pengaruhi pada katentuan algoritma media sosial.

Para pengguna dapat terlihat bebas memposting apapun, namun pada kenyataannya semua itu telah diatur oleh aturan dan logika pasar digital, seperti harus membuat konten sepanjang waktu untuk tetap eksis dan populer. Para pengguna tampaknya memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, di satu sisi, kenyataannya mereka adalah tawanan aturan dan logika pasar digital. saat ini, digitalisasi tidak hanya dikaitkan dengan komunikasi personal melainkan merupakan elemen penting dari evolusi ekonomi dunia.

Selain aspek ekonomi, perusahaan media sosial juga dapat dianggap sebagai aparatus iedologis yaitu alat kontrol untuk mengubah perilaku masyarakat dan hubungannya dengan kemanusiaan (Althusser, 1971). Secara ideologis, Louis Althusser berpendapat bahwa kekerasan juga bersifat psikologis dimana dapat memaksakan struktur dan gagasannya kepada pengguna seperti ISA (Ideological State Apparatuses) dan interpelasi.

Dapat dikatakan bahwasanya kapitalisme platform adalah pemetaan dan pendokumentasian iklan media digital, maka platform digital saat ini dipandang paling baik dalam abad ke-21. ISA yang melibatkan influencer sebagai subjek untuk menghibur pengguna, pengguna bebas untuk men-tweet sesuka mereka, tetapi sebenarnya aktivitas mereka dipandu oleh algoritme, sistem rekomendasi, trending topic, iklan, dan reward digital yang dengan tidak langsung mendorong mereka untuk tetap produktif dan setia pada logika pasar di seluruh dunia.

Menurut Eriyanto (2005), media memiliki kekuatan membingkai realitas dan makna, di ranah digital, dicapai melalui algoritme yang menyusun konten seputar preferensi dan perilaku pengguna. Kebebasan yang hanya ilusi, karena pada dasarnya semua yang diakukan di sana adalah untuk mencari kepentingan dan kenuntungan bergabai pihak.

Di sisi lain, model encoding/decoding oleh Stuart Hall mengusulkan suatu bentuk analisis yang menekankan peran yang dimainkan audiens dalam membentuk makna. Pesan media tidak perlu dianggap sebagai hal yang mendominasi, tetapi juga bisa dibaca secara negatif atau oposisi. Data yang dikumpulkan dari jumlah pengguna Facebook seperti kisah Cambridge Analytica, dipakai untuk mempelajari lebih lanjut tentang kampanye politik yang ditargetkan.

Konten iklan mikro (micro-targeting) yaitu konten yang diprogram untuk menjangkau preferensi, sikap, dan perilaku pemilih bukan rezim. Ada audiens (pengguna) yang cenderung menerima pesan tersebut, tanpa menanyakan mengapa pesan itu dibuat (dominant-hegemonic reading), beberapa menegosiasikan makna dalam kaitannya dengan apa yang telah mereka pelajari di tempat lain (negotiated reading) dan yang lain menantang teks dominan dan praktiknya, seperti penipuan data (oppositional reading).

Audiens dinilai lebih berharga secara ekonomi, mereka menentang menerima opini publik dan penguraian kode serta solidaritas yang kuat seperti yang dinyatakan Sudibyo (2004) secara umum dalam studinya terhadap ekonomi politik media.

Skandal Cambridge Analytica berkaitan dalam neo-imperialisme dari raksasa teknologi dunia seperti Meta, Google, dan ByteDance, sebagai pihak yang telah mengeksploitasi dunia digital yang menentukan apa yang harus dilakukan atau bagaimana masyarakat bertindak. Pada kasus ini data jutaan pengguna Facebook diekspoitasi tanpa seizin pemilik akun, dan dijadikan bahan untuk rekayasa politik dalam pemilihan presiden AS.

Banner Munas VI Nevi
Bagikan

Opini lainnya
Terkini