Oleh : Khairul Jasmi
Banjir dan longsor Sumatera disebabkan ‘sungai dari langit’ tapi ini bukan kasus California. Di sini sungainya gelap, tertutup awan gulita di mata kita.
Banjir bandang di California, Amerika, pekan lalu, kata berita dipicu “sungai atmosfir,” merupakan jalur memanjang dan sempit uap air di langit. Tentu saja di Sumatera bukan itu, melainkan langit hitam berat, berhari-hari dan hujan tiada henti. Ini, sesuatu yang baru.
Sementara di rimba raya, akar-akar tak kuat lagi menahan karena didera berhari-hari tanpa jeda. Air langit itu berlari ke laut lepas. Di darat tersisa lumpur dan kayu-kayu patah dalam jumlah yang mencengangkan.
Kejadiannya seketika, di luar asumsi awam. Kita memang berpikir seperti itu, meski BMKG telah merilis peringatan dini. Di Sumatera banjir sudah biasa, yang tak biasa justru datang bersama lumpur dan lunau serta pohon-pohon. Yang tak bisa stok hujan setahun, curah dalam sepekan tidak henti.
Warga di rumah kecilnya, mendapati kenyataan pahit. Sepasang suami di Salareh Air, Agam, Sumbar meninggal dunia, tinggallah anaknya yang balita seorang diri. Kini diayun alam, digendong siapa saja. Kampung tepi hutan itu, mengimbau kasih sayang dan datanglah orang-orang darimana saja.Mungkin kini, kayu di rimba berbisik sesamanya, tentang penyesalan, juga air yang sudah lama masuk ke laut. Musibah itu, merenggutkan kehangatan rumah tangga, menutup pintu sekolah, membungkam keceriaan anak-anak. Di sisi lain, menggerakan solidaritas dan pergerakan lembaga-lembaga pemerintah.
Jalan masih panjang, sebab hidup seolah dimulai dari awal. Paralel, masa yang singkat, sejak musibah terjadi, akan jadi kenangan pahit. Apalagi, jika kehilangan anggota keluarga.
Ketakutan adalah payung hitam di langit pikiran. Jika langit hitam, apalagi berat, rasa takut pun datang. Warga di Aceh Tamiang, seperti itu. Warga di Palembayan dan Malalak seperti itu. Tapanuli juga.
Sungai dari langit yang cair ditemani lumpur nan lembut dan lengket, menabrak amat kuat.
Editor : Fix Sumbar