Dan menariknya praktek manipulasi ini bekerja efektif dan dapat menciptakan prefensi konten yang beragam tergantung krpada latar belakang psikografis dari audiens facebook. beraga Kegiatan interaksi di media sosial seperti menyukai, berkomentar, dan berbagi dimanfaatkan sebagai alat ekonomi yang dapat mengubah pandangan politik atau dapat mengubah perilaku konsumen.
Skandal Cambridge Analytica mengungkapkan bahwa jenis kekuasaan lain yang kurang dikenal selain kekuatan militer atau politik yang terorganisir dapat digunakan melalui kontrol data dan informasi pribadi untuk memanipulasi opini masyarakat oleh perusahaan asing atau pemain politik. Althusser berpendapat bahwa platform digital adalah cara menjadikan pengguna sebagai subjek menurut ideologi neoliberal dan memungkinkan mereka untuk bebas berekspresi.
Oleh karena itu, mereka adalah pengguna media sosial, tetapi masih terhubung dengan sistem kehidupan online mereka, yang terdiri dari perusahaan teknologi global, seperti Facebook, yang merekrut mereka dalam proses membangun ekonomi digital.
Melalui pemikiran-pemikiran dari para ahli teori seperti Smythe, Althusser dan Hall, sesuatu yang disebut sebagai media sosial dapat menjadi suatu sistem di mana ekonomi saling terkait erat dengan ideologi dan budaya. Smythe menggaris bawahi kegiatan digital pengguna menghasilkan nilai ekonomi yang substansial.
Althusser menunjukkan bagaimana proses interpelasi menjadikan subjek sebagai subjek ideologis, sementara Hall berteori tentang kemampuan kritis anggota audiens untuk menafsirkan pesan atau menolak narasi dominan.
Contohnya, kasus Cambridge Analytica menunjukkan suatu kontradiksi yang melihat pengguna sebagai komoditas dan saham dalam kapitalisme dunia, namun tetap mampu melawan atas kesadaran dari Sebagian audiens kritis yang berlatar belakang ekonomi dan budaya yang berbeda, audiens ditantang untuk belajar atau memahami bagaimana kemajuan diri sendiri dan menghasilkan strategi melawan hegemoni platform yang memicu pengontrolan opini dan kebijakan sosial politik.
Di Indonesia Kesadaran seperti itu dihasilkan karena tindakan pengguna yang tidak hanya mengikuti tren atau campaign media sosial, tetapi juga menghasilkan konten yang terkait dengan kritik sosial pada media online bahkan ikut serta mengadakan campaign kesadaran digital. Perilaku seperti ini menjelaskan cara pengguna menghasilkan suatu nilai pemikiran, menegosiasikan identitas, dan menciptakan pengetahuan sosiokultural dalam lingkungan digital.Media dalam banyak hal, berperan menjadi metode pemerasan ekonomi dan ideologis bangsa, menciptakan keprihatinan akan dominasi kapitalis global. Munculnya permasalahan dan krisis itu, memicu kesadaran audiens untuk lebih berhati-hati dalam menghasilkan konten, dominasi pesan, dan makna tentang nilai dan norma apa yang dimiliki wilayah tertentu.
Dari gabungan teori Smythe, Althusser, dan Hall, dapat diartikan betapa rumit dan kompleksnya komunikasi digital kontemporer saat ini. Penonton (audiens) tidak hanya berperan sebagai konsumen atau subjek ekonomi, tetapi juga merangkap sebagai pekerja, subjek ideologis, dan agen potensial untuk perlawanan budaya. Kapitalisme platform menggabungkan kepentingan ekonomi dan ideologi dalam sistem yang dapat mengatur audiensnya, tetapi membuatnya seolah-olah bebas.
Neo-imperialisme digital menggambarkan secara jelas bagaimana pandangan dominasi ekonomi dan budaya global kini terfokus pada perusahaan teknologi raksasa, mengenai konten digital yang membuka ruang kritik, negosiasi, dan konstruksi makna. Dengan kesadaran itu, media sosial harus dianggap sebagai "medan perjuangan" di mana partisipasi kritis terjadi tidak hanya sekedar sasaran eksploitasi ekonomi dan ideologis, tetapi dapat menjadi alat pembelajaran yang kuat dan kritis untuk mempertahankan netralitas di zaman digital saat ini. (*)