Demokrasi yang Mahal dan Kehilangan Makna
Kritik Ketua DPD RI Sultan Najamudin terhadap tingginya biaya Pilkada menyentuh akar persoalan demokrasi kita. Biaya politik yang sangat besar dalam setiap kontestasi daerah telah menjadikan demokrasi elektoral sebagai arena kompetisi modal, bukan kompetisi gagasan.
Akibatnya, muncul praktik jual beli rekomendasi partai, politik uang, dan ketergantungan terhadap pemodal.
Pilkada yang berbiaya tinggi hanyalah cermin dari sistem politik nasional yang semakin mahal. Jika Pilkada saja menguras miliaran rupiah, maka Pemilihan Presiden (Pilpres) langsung jelas menghabiskan biaya yang jauh lebih besar, baik bagi negara maupun kandidat.
Karena itu, DPD RI perlu melangkah lebih jauh dari sekadar mengkritik. Sebagai lembaga perwakilan daerah yang juga bagian dari MPR RI, DPD memiliki peran strategis untuk memimpin gerakan reformasi politik menuju sistem pemilihan presiden melalui MPR RI.
Menata Ulang Demokrasi KonstitusionalSistem pemilihan presiden oleh MPR bukan kemunduran, melainkan jalan konstitusional untuk menekan biaya politik dan memperkuat permusyawaratan sebagai jati diri bangsa. Demokrasi tidak harus mahal, asalkan dijalankan dengan integritas dan tanggung jawab.
Sudah saatnya DPD RI, yang seluruh anggotanya juga anggota MPR RI, mendukung langkah Presiden dalam merawat konstitusi serta memutus utang budi elektoral yang selama ini membelenggu pemerintahan.
Dukungan itu harus disertai upaya menghapus polarisasi politik individual dan relawan yang sering dibackup oleh kekuatan oligarkis dan feodalistis.
Politik semacam itu cenderung Jawa-sentris dan menjauh dari semangat Indonesia-sentris yang menempatkan semua daerah dalam posisi setara.