Koperasi Merah Putih: Memprovokasi Kita Kembali Berkoperasi

Teks Foto : Munzir Busniah, Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. IST
Teks Foto : Munzir Busniah, Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. IST

Namun, pertanyaan besar muncul: apakah program ini sungguh akan berhasil, atau hanya sekadar menjadi proyek birokratis yang akhirnya kembali tenggelam dalam formalitas?

Beberapa pengamat telah melontarkan keraguan sejak awal. Kritik yang mencuat antara lain bahwa program ini bersifat top-down dan belum lahir dari kesadaran kolektif warga. Tanpa partisipasi yang kuat dari akar rumput, koperasi rawan menjadi “nama tanpa jiwa”—hidup di atas kertas, tapi mati di lapangan.

Saya sepakat bahwa kegagalan bisa terjadi jika kita mengulangi kesalahan lama. Namun saya juga melihat alasan kuat untuk optimisme. Setidaknya ada empat modal sosial baru yang patut kita hitung:

Pertama, masyarakat Indonesia kini jauh lebih terdidik. Munculnya generasi sosiopreneur—wirausaha sosial yang memiliki semangat kolektif dan nilai kemandirian—dapat menjadi penggerak koperasi di desa dan kelurahan. Mereka bukan hanya pelaku bisnis, tapi juga pemimpin sosial.

Kedua, kesadaran akan pentingnya keadilan ekonomi makin tumbuh. Masyarakat kini tak lagi terpukau semata oleh konglomerasi dan pertumbuhan indikator makroekonomi. Ada dorongan yang kuat untuk membagi “kue ekonomi” secara lebih adil dan mendalam.

Ketiga, infrastruktur teknologi telah tersebar merata dan jauh lebih baik dibanding dekade sebelumnya. Digitalisasi koperasi bukan lagi wacana, melainkan kebutuhan. Ini membuka peluang koperasi untuk terhubung dengan ekosistem digital—dari sistem pembayaran hingga pemasaran produk.

Keempat, kita sudah mulai melihat contoh sukses. Salah satunya adalah Kopdes Sidomulyo di Jember, yang mampu menjadi pusat ekonomi desa dan membangun kepercayaan kolektif di antara warga. Contoh lain adalah Koperasi Solok Radjo yang digagas orang-orang muda yang berjiwa sosiopreneur untuk pengembangan kopi Kabupaten Solok. Model seperti ini tentu bisa direplikasi dengan modifikasi sesuai konteks lokal.

Sebagai seorang dosen dan penggiat kebijakan publik, saya percaya bahwa gerakan koperasi tidak boleh berhenti pada kebijakan negara. Peran akademisi, kampus, pemuda desa, dan tokoh lokal sangat krusial dalam memastikan gerakan ini hidup dan berkembang. Kampus bisa menjadi pusat pendampingan, laboratorium inovasi, dan simpul pengembangan SDM koperasi. Kita semua harus sambut program ini dengan semangat wirausaha dan semangat sosial.

Koperasi Merah Putih bukanlah instrumen ekonomi biasa. Ia adalah simpul dari semangat kebangsaan yang mengakar. Ia adalah jawaban atas pertanyaan: apakah kita masih percaya bahwa ekonomi bisa dibangun secara kolektif, adil, dan berbasis gotong royong?

Kini saatnya kita semua mengambil peran. Dari desa-desa yang jauh di pelosok hingga kelurahan yang berbaur dengan keramaian kota, dari nelayan pesisir hingga petani gunung, koperasi bisa menjadi simpul penggerak ekonomi lokal yang bermartabat. Karena koperasi bukan hanya tentang uang dan usaha, tapi tentang rasa memiliki bersama dan semangat mufakat.

Editor : Fix Sumbar
Banner Munas VI Nevi
Bagikan

Berita Terkait
Terkini